Melakukan
kesalahan karena emosi yang tak terkontrol, bisa mengakibatkan kondisi
yang fatal. Bisa jadi semuanya akan kacau berantakan dan tak
terselamtkan, jika anda tak segera menyadari dan tahu apa yang
seharusnya dilakukan. Mencari langkah yang baik untuk menyelesaikan
masalah adalah pilihan yang tepat. bersikaplah arif dan bijaksana.
Turunkan ego sedikit dan mengalahlah kalau memang diperlukan. Mengalah
belum tentu kalah dan salah. Justru dengan anda mengalah dan meminta
maaf akan menunjukkan kearifan anda.
Sejak kecil kita diajari arti 3 kata sakti : terima kasih, tolong atau please dan maaf. Terkadang ketika ada satu masalah kata terakhir sulit diucapkan, terutama saat diperlukan. Jika kata maaf merupakan komoditi yang bisa dipasarkan, bisa jadi kita menemukannya di rak toko obat dengan label “pelumas sosial”.Kita menggunakannya dalam percakapan untuk mempermudah interaksi dengan orang lain: “Maaf sekarang jam berapa?” dan sebagainya. Kata maaf itu tidak mahal. Bahkan sering kit temukan berserakan diberbagai kalimat percakapan. Tetapi saat dihadapkan pada keadaan yang serius setelah melakukan kesalahan fatal seringkali tenggorokan mendadak tersumbat.
Para psikolog mengatakan meminta maaf adalah bentuk terapi memulihkan rusaknya hubungan antar manusia. Seperti cairan yang mencegah tubuh mengalami kerusakan. Tapi mengapa kita justru memilih untuk mengalami dehidrasi. Mengapa permintaan maaf yang tulus membuat kita bingung dan panik ? Mengapa banyak pasangan memilih berpisah, dan para pekerja lebih memilih cari kantor baru, padahal masalah yang dihadapi bisa lenyap ? selesai hanya dengan mengucapkan maaf.
Menurut Dr. Dolly Hollander, sulitnya minta maaf ternyata ada sangkut pautnya dengan cara orang tua membesarkan kita, “Bila kita tumbuh dalam keluarga dengan ayah atau ibu yang punya kuasa penuh serta selalu benar, maka pesan yang kita terima sebagai anak adalah, tidak boleh berbuat salah.” “Juga pada orang tua yang suka mengkritik anak dan bukan tindakannya ketika berbuat salah. Misalnya saat seorang ibu berkata kepada Deni kecil, “Deni, kamu kok bisa sebodoh itu sih ? Dan bukannya berkata, “Deni, tindakanmu itu tadi bodoh sekali.” Anak yang terus dikritik menganggap setiap kesalahan yang dilakukannya sebagai masalah karakter yang serius dan bukan kesalahan yang dapat diperbaiki. Jika permintaan maaf anak tidak membawa perubahan baik dari segi hukum atau penerimaan maaf, maka anak akan menganggap permintaan maaf hanya akan memberi rasa malu dan bukan perbaikan.
Pendidikan masa kecil hanya salah satu sebab dari batu penghalang untuk mengatakan maaf. Tekanan, gengsi dan kekuasaanadalah tiga batu penghalang lainnya. “Kita hidup dalam masyarakat yang penuh tekanan, yang mengukur status dengan sukses materi, seperti seberapa besar rumah kita, seberapa mahal mobil kita, waktu untuk mengenal diri dan menerimanya. Akibatnya kita hanya mau menerima kulaitas positif kita.
Merubah cara pandang yang sudah terlalu melekat dalam diri seseorang bukanlah hal yang mudah. Sulit memang, untuk menjadikan kita sebagai orang yang mudah memaafkan dan meminta maaf tanpa harus menurunkan nilai dari maaf itu sendiri. Harus ada ketegasan, komitmen dan kesungguhan yang menyertai kata maaf itu sendiri.
Sejak kecil kita diajari arti 3 kata sakti : terima kasih, tolong atau please dan maaf. Terkadang ketika ada satu masalah kata terakhir sulit diucapkan, terutama saat diperlukan. Jika kata maaf merupakan komoditi yang bisa dipasarkan, bisa jadi kita menemukannya di rak toko obat dengan label “pelumas sosial”.Kita menggunakannya dalam percakapan untuk mempermudah interaksi dengan orang lain: “Maaf sekarang jam berapa?” dan sebagainya. Kata maaf itu tidak mahal. Bahkan sering kit temukan berserakan diberbagai kalimat percakapan. Tetapi saat dihadapkan pada keadaan yang serius setelah melakukan kesalahan fatal seringkali tenggorokan mendadak tersumbat.
Para psikolog mengatakan meminta maaf adalah bentuk terapi memulihkan rusaknya hubungan antar manusia. Seperti cairan yang mencegah tubuh mengalami kerusakan. Tapi mengapa kita justru memilih untuk mengalami dehidrasi. Mengapa permintaan maaf yang tulus membuat kita bingung dan panik ? Mengapa banyak pasangan memilih berpisah, dan para pekerja lebih memilih cari kantor baru, padahal masalah yang dihadapi bisa lenyap ? selesai hanya dengan mengucapkan maaf.
Menurut Dr. Dolly Hollander, sulitnya minta maaf ternyata ada sangkut pautnya dengan cara orang tua membesarkan kita, “Bila kita tumbuh dalam keluarga dengan ayah atau ibu yang punya kuasa penuh serta selalu benar, maka pesan yang kita terima sebagai anak adalah, tidak boleh berbuat salah.” “Juga pada orang tua yang suka mengkritik anak dan bukan tindakannya ketika berbuat salah. Misalnya saat seorang ibu berkata kepada Deni kecil, “Deni, kamu kok bisa sebodoh itu sih ? Dan bukannya berkata, “Deni, tindakanmu itu tadi bodoh sekali.” Anak yang terus dikritik menganggap setiap kesalahan yang dilakukannya sebagai masalah karakter yang serius dan bukan kesalahan yang dapat diperbaiki. Jika permintaan maaf anak tidak membawa perubahan baik dari segi hukum atau penerimaan maaf, maka anak akan menganggap permintaan maaf hanya akan memberi rasa malu dan bukan perbaikan.
Pendidikan masa kecil hanya salah satu sebab dari batu penghalang untuk mengatakan maaf. Tekanan, gengsi dan kekuasaanadalah tiga batu penghalang lainnya. “Kita hidup dalam masyarakat yang penuh tekanan, yang mengukur status dengan sukses materi, seperti seberapa besar rumah kita, seberapa mahal mobil kita, waktu untuk mengenal diri dan menerimanya. Akibatnya kita hanya mau menerima kulaitas positif kita.
Merubah cara pandang yang sudah terlalu melekat dalam diri seseorang bukanlah hal yang mudah. Sulit memang, untuk menjadikan kita sebagai orang yang mudah memaafkan dan meminta maaf tanpa harus menurunkan nilai dari maaf itu sendiri. Harus ada ketegasan, komitmen dan kesungguhan yang menyertai kata maaf itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar